Blog 13.06.2010
Kali ini saya akan bicara soal taksi.. Yak, taksi yang menjadi salah satu "bisnis kepercayaan" karena saya termasuk penumpang yang hanya mau menggunakan taksi dengan merk tertentu..
Saya menulis ini karena saya kemarin baru saja naik taksi "sepakat" karena saya mengira dia "blue bird". Saya sempet ragu untuk naik hingga akhirnya saya membaca bismillah dan bergumam dalam hati,"ini adalah rejeki si supir taksi. Lagipula tujuannya ga jauh (fly over jatibaru sampai GI) insya allah aman." Pas di taksi supirnya agaknya nyadar saya sempet pas mau naik. Dia nanya "kok td sempet ragu mba?" aaaah makin khawatir aja perasaan saya.. Tapi akhirnya saya menjawab sekenanya,"abis td kacanya gelap, jadi ragu.." *yeah rite, sounds so stupid*
Tapi akhirnya taksi jalan juga daaaan saya pandangi lama argonya mudah2an bukan argo kuda..
Yeah.. Saya beruntung argo taksi "sepakat" yang saya naiki adalah tarif bawah yang berjalan "normal"..
Fiuuuf untunglah saya selamat.. Meski menyisakan rasa "tidak enak hati" karena telah berprasangka buruk dengan pak supir dan merek taksi yg bukan merek fanatik saya..
Pengalaman kemarin membuat saya teringat pengalaman ketika saya ikut kunjungan kerja wapres boediono ke bali 25-28 mei lalu.. Ketika ada waktu luang, di sana saya sempat jalan2 sama kawan saya camelia ke daerah kuta dan membeli oleh2 si denpasar.. Kami pun memilih menggunakan transportasi taksi dari depan hotel.. Sebenarnya banyak taksi yang mangkal di depan hotel, tapi kami berdua lebih memilih menunggu taksi blue bird yang lewat karena faktor "keamanan"..
Saya sempat berbicara dengan supir taksi blue bird di sana.. Rata2 mereka adalah orang luar bali.. Ada yang dari bandung (sudah 5 tahun tidak pernah pulang ke bandung), dan ada yang orang jawa (yang sebelumnya kerja jadi supir charteran milik orang bali).. Total 4 taksi yg saya naiki, supirnya semua para perantau.. Saya sempat berpikir kenapa yah orang bali ga ada yang menjadi supir taksi blue bird? Apakah mereka (maaf) arogan jadi hanya mau jadi bos dengan mengembangkan usaha sewa mobil daripada jadi 'supir karyawan'??
Hmmm Ternyata saya salah besar.. Saya tahu saya salah ketika pulang dari bandara soetta (setelah dari bali), saya nebeng kameramen tv satu group naik taksi ke kantor.. Tidak seperti kameramen lain yang biasanya selalu memilih menggunakan blue bird, kawan saya ini justru mengatakan 'terserah' ketika saya tanya mau naik taksi apa.. Kami pun naik taksi gamya ke kantor dengan argo lebih ekonomis karena selain perbedaan tarif jg karena hari itu hari libur waisak..
Di taksi saya sempet cerita tentang supir taksi blue bird yang kebanyakan bukan orang bali.. Dia justru cerita selama di sana dia naik taksi supirnya selalu orang bali.. Memang sih dia tidak naik blue bird, tapi merk taksi lokal 'dewata' (kalau saya tidak salah ingat) yang merupakan taksi pertama di bali.. Supir taksi dewata cerita kalau blue bird telah mengambil pangsa pasar mereka di bali.. Blue bird awalnya tidak menggunakan merek itu karena memang dilarang. Tapi begitu izin taksinya keluar, blue bird merubah nama perusahaannya agar bisa menggukan merek blue bird..
Dan saya pun tercenung..
Saya tidak ingin masuk ke arah pembicaraan "ini jaman globalisasi dan yang tidak bisa mengejar akan tergilas jaman" ataupun "pengalaman membuktikan bahwa banyak kasus dari merek2 taksi yang tak terpercaya itu.."
Saya hanya ingin mengatakan bahwa masih banyak orang baik di dunia ini.. Kita cukup mempercayai itu.. :)