Menulis dengan hati..
Itu kata seorang kawan saya suatu hari saat liputan di istana (presiden) dan hari itu ada belasan bahan berita yg bisa dibuat.. Tapi jika tidak sanggup dibuat semua, tentu harus dipilah2.. Jadi menulisnya harus dengan hati.. *nyambung gas sih???*
tapi yaaa begitulah maksudnya..
Berkaitan dengan itu, tulisan saya kali ini adalah tentang "hubungan" saya dengan narasumber dan hubungannya dengan menulis dengan hati..
Belum lama ini seorang kawan saya-dr media tetangga-melabeli saya sebagai "boedionoholic".. Yang tentu saja label itu dia berikan dengan "sarkas"..
Saya dapet label itu karena waktu itu wapres boediono itu suaranya hilang (krn sakit tenggorokan) dan dia hanya memberi sambutan selama 5 menit, dari normal pidato 20 menitan.. Pak boed waktu itu mengakui bahwa karena cuaca di daerah kurang bersahat (dari baru pulang dari palu&bandung) sehingga suaranya serak..
Saat itu saya langsung ngetweet,"pak boed kalau kerja jangan di forsir pak, klo pak boed sakit kita semua sedih.." kemudian esok harinya suara pak boed masih serak&saya mendengar kabar dari seorang yg bisa dipercaya bahwa pak boed muntah (sepertinya krn masuk angin) sepulang dari bali..
Dan saya pun cerita kepada kawan ini yang akhirnya melabeli saya seperti itu..
Jujur saja saya tidak suka label itu.. Walaupun saya tidak menampik kalau saya merasa "dekat" dengan narasumber profesor itu.. Dekat dalan artian, saya bisa menulis dengan hati.. Karena bagi saya dia adalah orang yang tidak palsu dalam melakukan segala sesuatu..
Saya (dan juga kawan2 wartawan lainnya di wapres) setiap hari melihat dia bekerja keras.. Saat sibuk bisa 4-5 agenda sehari, dan dia memimpin dari rapat ke rapat mengurai masalah2 yg bagai benang kusut di negara ini.. Kami pun pernah beberapa kali wanti2 ke juru bibir,"mas yopie, bilang pak boed kalo kerja jangan di forsir dong. Nanti sakit dia." yaah gatau sih disampaikan atau engga pesan2 itu, tapi beneran kesian.. Pak boed kan udah tua..
Ironisnya, meski kesibukannya membludak.. Pak boed ini bukanlah orang yang bisa "membuat keputusan" ataupun "mengeluarkan kebijakan".. Karena yg "TAMPIL DI SHOW" tentulah si nomor 1 dan bukan si nomor 2..
Tapi yasudahlah.. Bukan itu maksud dari tulisan ini.. Saya hanya mau berbagi bahwa pak profesor ini benar2 berniat untuk bekerja dengan hati.. Dan ini membuat saya (salah satu wartawan yang "mengawalnya") merasa dekat dan bisa menulis dengan hati.. *jiaaaah*
Rasa "dekat" ini pula yg bisa membuat saya bercerita sangat lancar dan mengalir tentang acara nobar perempat final piala dunia brazil vs belanda lalu.. Saya menikmati semua momen yg terjadi saat itu..
Ataupun saat dia mau preskon tentang redenominasi rupiah.. Kakek dari 5 cucu ini bilang,"sudah lama yah kita ga ketemu.. Terakhir pas nonton bola.. Akhirnya spanyol yah.."
Yeah, basa-basi yang begitu saja tp membuat saya tersenyum.. :)
Hubungan dengan narasumber lainnya yang saya rasakan cukup "dekat" adalah dengan sri mulyani indrawati yang sekarang sudah menjadi managing director world bank itu..
Meski dia sudah tidak lagi di indonesia, saya masih suka merindukan dia loh.. Bahkan saya pernah memimpikan dia krn pada siang harinya saya kecewa karena menteri keuangan yang baru tidak sepintar dia.. *sorry pak agus, no offense..*
Mengenai "hubungan" saya dengan bu ani ini, saya sadar kalo saya bukan wartawan serior yg bisa smsan sama dia.. Ataupun wartawan koran no satu itu yang selalu dipanggil dengan inisial namanya.. Tapi beberapa kali bu ani ini menjawab pertanyaan saya sambil merangkul, layaknya seorang ibu.. Dia pun (di saat moodnya baik tentunya) selalu menjawab pertanyaan wartawan dalam situasi apapun&selalu menjadi berita bagus..
Rasa "dekat" itu pun menjadi rasa sentimentil saat saya trenyuh waktu dia bernyanyi "ke jakarta ku kan kembali" saat farewell party dengan kawan2 forkem.. :'(
Sampai saat ini, dua orang inilah yang bisa membuat saya menulis dengan hati karena merasa "dekat".. Tapi meski begitu bukan berarti saya tidak objektif dalam menulis.. Memaparkan fakta adalah tugas saya.. Tapi jujur saja, narasumber yang bekerja dengan hati inilah yang membuat saya masih bisa bertahan menjadi wartawan di sarang kepalsuan negeri ini.. *lebay*
Udah ah.. Serius amat sih tulisannya, kayak orang bener aja.. Fyi, saya ga terima celaan yaah.. *wanti2 galak* kalau mau nyela dalam hati saja, hehehe..
Ps: mungkin kalau punya banyak waktu luang, bisa dicari tau berapa kali saya menulis frase "dengan hati" di tulisan ini.. Ada souvenir cantik untuk 2 penebak pertama.. *preeeet*
No comments:
Post a Comment