Friday, November 18, 2011

Profesi jurnalis..

Dua hari lalu seorang jurnalis senior dari salah satu koran ekonomi ngetwit, 
"U said, jangan mikir hanya passion? My passion makes me come n do this job! Whataver shitty feeling I had, I love to write these news."

Tweet itu sangat mengena untuk saya..
Saya yang hingga kini mencintai profesi saya hingga masih bisa tersenyum walaupun kelelahan luar biasa. .
Saya yang tertohok saat seorang kawan berkata, 
"jadi lo yakin profesi ini bisa menghidupi lo?" 
yang (saat itu juga) membuat suami saya muai dengan nada tinggi berkata, "berhasil atau tidaknya seseorang dalam hidup itu bukan semata2 berapa banyak materi yang dia hasilkan. Tapi hidup kita itu berguna ga untuk orang banyak?"
Ah ya, muai memang masih mencintai profesi ini, meski ia juga punya cinta lainnya, fotografi.

Saya juga masih mempunya "kebahagiaan kecil" lainnya seperti makan malam daging rusa satu meja bersama wakil presiden, ataupun bisa makan seafood di jimbaran dan mendapat "kuliah" tentang pekerjaan dari menteri keuangan.. Ga semua orang punya kesempatan itu bukan?

Ataupun kebahagiaan kecil seperti memastikan koran susah lolos seleksi sebelum dicetak, hingga memegang koran pertama kali setelah koran itu selesai dicetak..

 merasa "puas" bisa memberikan informasi bahwa dari blok m ke mampang itu bisa naik metro mini 75, daripada harus pusing2 naik bus transjakarta.. 

Tapi kemudian saya pun teringat obrolan saya dengan salah seorang sahabat yg akhirnya memutuskan 'resign' dari profesi jurnalis. Saya (kalau boleh jujur) saat itu ingin bilang sama dia, 
"jangan menyerah sama profesi ini karena rezeki itu sudah diatur sama Allah.. Jadi lo ga perlu khawatir.. Apalagi perusahaan tempat lo bekerja itu udah top of the pop dari semua media yang ada.."

Tapi saya enggak ngomong hal di atas sama sahabat saya itu. Saya justru bilang,
"mungkin memang yang terbaik untuk lo adalah mengikuti saran pekerjaan yang diinginkan keluarga lo. Agar lo punya banyak waktu bareng keluarga yang paling lo sayangin itu.."

Dan sahabat saya  mengucapkan "terima kasih" atas saran saya.

Saat itu di sebuah grup bbm, sahabat saya juga bertanya  soal "passion" nya di profesi ini vs keinginan keluarganya yang menginginkan dia "ga dekil lagi" krn profesi ini sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran..

Dan jawaban kawan2 lain yang membuat saya mules2 adalah bahwa bekerja itu ga perlu sesuai passion. Lebih baik kerja realistis, sedangkan passion itu bisa diperoleh dengan ga perlu ikut "nyemplung" ke profesi yang (menurut sebagian besar orang) ga akan membuat lo jadi orang kaya..

Saya kemudian kembali berpikir. Apa pada akhirnya karena profesi ini "tidak menjanjikan apa2 pada akhirnya" membuat banyak jurnalis senior di koran "investigasi" banyak yang beralih menjadi PR di pemerintahan? 
Jawabannya saya belum tahu karena saya juga bukan jurnalis senior, hehe..

Tapi rasanya saya tidak perlu memikirkan hal yang bukan urusan saya.. Lebih baik tetap bekerja untuk satu tujuan, "menjadi berguna untuk orang banyak.."

Ps: untuk mengantisipasi hujatan dan sebagainya.. Saya sertakan,
disclaimer: tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan sesorang ataupun profesi tertentu. :)


Sent from my iPad

No comments: