Food and Globalisation: J.CO Donuts & Coffee dan Blenger Burger—Produk Indonesia dalam Kemasan Global
Berbicara tentang food and globalisation, mungkin yang akan muncul di dalam benak kita adalah kata-kata seperti McDonald ataupun Starbucks Coffee. Kedua produk budaya tersebut sering disebut-sebut sebagai salah satu bentuk imperialisme budaya yang berasal dari negara barat yang berkembang menjadi budaya global yang juga diadopsi oleh negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Globalisasi kerap kali dikatakan sebagai Amerikanisasi, seiring dengan kenyataan banyaknya barang-barang produksi Amerika yang masuk ke negara-negara di dunia. Dalam hal makanan, produk McDonald dan Starbucks Coffee adalah contoh-contoh produk hasil globalisasi yang telah dianggap sebagai local culture yang diterima oleh negara-negara yang di dunia.
Akan tetapi, dalam esai ini, penulis tidak akan membahas produk-produk globalisasi yang telah disebutkan sebelumnya. Penulis akan membahas produk yang sedang ramai dibicarakan banyak orang terutama di kota-kota besar di Indonesia—khususnya Jakarta yaitu J.CO Donuts dan Blenger Burger. Dua produk ini adalah produk lokal yang sejauh ini berhasil menjaring konsumen besar. Mereka mempunyai cara-cara tersendiri hingga para konsumen tertarik untuk mencicipi produk mereka—bahkan sampai harus mengantri. Apakah strategi pemasaran yang kedua produk ini gunakan untuk menarik konsumen besar? Dalam esai ini, penulis akan membahas tentang strategi pemasaran yang digunakan dua produk tersebut di atas—yaitu penggunaan packaging global pada produk mereka yang sebenarnya merupakan produk lokal.
Bertolak dari sejarahnya, J.CO Donuts & Coffee lahir dari tangan dingin Johnny Andrean yang sebelumnya telah berhasil dengan produk franchise dari Singapura bernama Bread Talk. Anda tentu tidak asing dengan produk Bread Talk yang sangat berbeda dengan produk-produk roti lain yang ditawarkan pada saat iu. Bahan-bahan impornya, standarisasi bentuk dan rasa, juga inovasi bentuk gerainya yang memperlihatkan orang-orang yang membuat roti membuat produk-produk Bread Talk disukai konsumen hingga para konsumen tersebut rela mengantri panjang untuk membeli produk-produk roti Bread Talk.
Setelah sukses dengan Bread Talk, Johnny Andrean mencoba mengeluarkan produk baru yang berupa donat dengan nama J.CO Donuts & Coffee—yang lebih dikenal dengan mana J.CO saja. Awalnya ia ingin membeli franchise Krispy Kreme—donat yang sedang populer di Amerika, namun karena ia tidak bisa membeli francise tersebut maka ia membeli resep dan mesinnya hingga akhirnya terciptalah J.CO. Produk donat J.CO bisa dibilang berbeda dengan produk donat yang ada di Indonesia saat ini, bahan-bahannya berasal dari luar negeri dan proses pembuatannya menggunakan mesin khusus—dan juga dengan hand made membuat produk-produk J.CO mempunyai cita rasa berbeda dengan produk donat lain.
Donat J.CO mempunyai tekstur yang lebih lembut, memiliki banyak variasi rasa—19 variasi roti dengan ingredient yang juga berbeda, dan juga bentuk pemasaran yang baik, mereka memasang iklan di televisi, mengundang insan-insan pers pada acara grand launching yang disertai sampling produk menyebabkan J.CO langsung menjadi produk yang direkomendasikan di televisi dan media cetak untuk dicoba.
Dalam hal ini, penulis berasumsi, jika media sudah merekomendasikan suatu produk baru yang enak dan berbeda, maka orang-orang Indonesia yang penasaran akan dengan senang hati mencoba produk tersebut.
Berbeda dengan J.CO yang merupakan produk dari sebuah industri besar, produk Blenger Burger berasal dari industri rumahan. Pemilik Blenger Burger, Erik kadarman Subarna, pertama kali menjual produk Blenger Burger di kios kecil di pinggir jalan. Bagaimana Blenger Burger hingga saat ini mempunyai ribuan pelanggan, mungkin disebabkan oleh rasa burger yang berbeda jika dibandingkan dengan burger-burger dari restoran fast food. Blenger Burger menghidangkan burger dengan daging sapi yang dipanggang (grill). Menurut pemiliknya, Grilled Burger (burger panggang) masih jarang ditemui di Jakarta. Daging yang digunakan oleh Blenger Burger adalah daging dengan kualitas FQ 90, yaitu daging yang mengandung 90 persen daging dan 10 persen lemak. Daging ini diolesi saus barbeque saat dipanggang dengan pemanfaatan bumbu-bumbu asli Indonesia dan setelah masak daging tersebut ditaruh di roti dengan tambahan lettuce (semacam selada) dan kyuri (mentimun Jepang) yang diyakini mempunyai rasa lebih enak dari selada dan mentimun biasa.
Jika produsen J.CO menggunakan bantuan media—baik media massa ataupun media elektronik untuk mempromosikan produknya, produsen Blenger Burger membuat produk burger unggulan dengan harga yang terjangkau, menggunakan strategi space and place yang jitu. Blenger Burger memiliki tiga lokasi kios yang strategis, yang pertama di Jalan Lamandau Kebayoran Baru Jakarta Selatan—dekat dengan sekolah-sekolah dan pusat perbelanjaan, yang kedua di Jalan Tulodong—dekat jalan arteri yang sering dilalui orang, dan lokasi keduanya adalah di daerah Sektor I Bintaro Jaya—dekat dengan lingkungan perumahan elit. Penggunaan strategi ini penulis nilai sebagai strategi yang tepat untuk industri rumahan.
Di ketiga tempat tersebut setiap harinya banyak orang yang berlalu-lalang. Dengan melihat kios tersebut berulang-ulang, secara tak sadar otak manusia akan tergoda untuk mencoba produk yang ia lihat. Lalu jika ditelusuri lebih jauh, mulanya dari satu orang yang mencoba produk tersebut, lama-lama menjadi banyak orang yang menikmatinya karena alasan penasaran.
Target pasar produk J.CO dan Blenger burger sebagian besar adalah anak muda. Yang dimaksud anak muda di sini adalah mereka yang berusia 13-30 tahun. Alasan penulis mengkatogerikan usia tersebut adalah karena hal ini sesuai dengan kenyataan penduduk Indonesia yang mempunyai komposisi generasi muda lebih banyak daripada generasi tuanya. Selain itu, penulis menetapkan batasan usia mulai dari usia 13 tahun karena pada usia tersebut seorang anak sudah bisa menentukan barang apa yang akan mereka konsumsi tanpa ikutnya campur tangan orang tua.
Penentuan target pasar kalangan anak muda yang dilakukan produsen J.CO dan Blenger Burger penulis lihat sebagai target pasar yang tepat. Mereka yang masuk dalam kategori tersebut biasanya sangat mudah menyerap fenomena budaya baru yang terkait dengan globalisasi. Mereka tidak segan-segan mengikuti apa yang sedang menjadi tren pada saat ini—termasuk dalam hal makanan. Perlu penulis jelaskan lagi bahwa produsen J.CO menggunakan media sebagai tempat untuk berpromosi produknya.
Hal ini membuat para anak muda yang menoton telivisi dan juga membaca ulasan menarik tentang keunggulan produk J.CO dengan senang hati akan mencoba produk donat tersebut. Selain pemasaran produk melalui media, lokasi gerai J.CO adalah di beberapa mal yang sering dikunjungi anak muda—misalnya Cilandak Town Square dan mal Kelapa Gading.
Tidak berbeda jauh dengan produsen J.CO, produsen Blenger Burger memulai usahanya di kios yang berada di Jalan lamandau yang merupakan salah satu tempat dimana anak muda muda Jakarta banyak berkumpul karena di situ terdapat distro-distro dan kios-kios makanan yang disukai anak muda berada.
Penulis mengutip anggapan dari produsen Blenger Burger, Erik kadarman Subarna, “Dimana tempat anak-anak muda nongkrong, pasti makanan yang dijual di situ akan ramai dikunjungi orang.” Ia mengadopsi kios-kios penjual burger dan hot dog di luar negeri yang berlokasi di tempat-tempat umum seperti taman ataupun jalan raya. Pada kenyataannya lokasi strategis tempat dijualnya produk J.CO dan Blenger Burger yang sering dikunjungi anak muda, memang menjadi salah satu alasan mengapa produk-poduk budaya tesebut menjaring konsumen yang sangat besar.
Dengan lokasi yang strategis, produk-produk J.CO dan Blenger Burger mulai dikenal orang banyak. Bermula dari kalangan anak muda terbatas yang nongkrong di tempat-tempat ‘gaul’-nya anak muda—dalam hal ini Mal Kelapa Gading dan Cilandak Town Square untuk produk J.CO dan Jalan Lamandau, Jalan Tulodong, dan Bintaro untuk Blenger Burger hingga akhirnya anak-anak muda yang tidak nongkrong di tempat-tempat tersebut pun ingin mencoba produk J.CO ataupun Blenger Burger yang terkenal itu. Setelah produk-produk budaya tersebut terkenal, yang terjadi adalah selera anak muda menjadi sama. Hampir semua orang menyukai dan mengkonsumsi produk J.CO dan Blenger Burger. Seperti pendapat MacDonald, budaya massa menjadi sebuah ancaman karena sifat homogennya, kapasitasnya dalam menurunkan atau merendahkan segala kebudayaan, dan menciptakannya kembali dengan pencitraan sendiri. Budaya massa sendiri adalah
Sebuah kekuatan revolusioner dinamis, yang menghancurkan batasan kuno kelas, tradisi, tradisi, selera, menghamburkan segala macam perbedaan. Budaya massa membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut budaya homogen… Dengan demikian, budaya massa menghancurkan segala nilai, Karena penilaian mengimplikasikan adanya diskriminasi/pembedaan. Budaya massa teramat sangat demokratis: ia secara mutlak menolak untuk mendiskriminasikan atas, ataupun antara, apa pun maupun siapa pun. (Strinati, 2003, hlm.18)
Argumen MacDonald ini menjelaskan bahwa budaya massa dapat menyatukan segala batasan kuno yang ada di masyarakat dan menyampuradukkan segala sesuatu dan menghasilkan budaya yang homogen. Penulis mengindikasikan adanya kemiripan dengan produk-produk J.CO dan Blenger Burger yang disukai para anak muda yang mulai menjadi budaya massa yang homogen.
Pada saat selera semua orang sama—yaitu menyukai dan mengkonsumsi produk J.CO dan Blenger Burger, terjadi antrian pembeli yang sangat panjang baik di gerai J.CO ataupun di kios Blenger Burger. Untuk membeli J.CO di Cilandak Town Square misalnya, seseorang harus mengantri 30-45 menit untuk mencapai kasir. Dan tidak hanya gerai J.CO yang berada di Cilandak Town Square saja yang dibanjiri pembeli, gerai J.CO di Plaza Semanggi, dan di Mal Kelapa Gading juga mengalami hal yang sama.
Konsumen produk Blenger Burger juga harus mengantri lebih dari 2 jam untuk mendapatkan Burger yang mereka pesan. Agar tidak kehabisan, bahkan pembeli harus memesan beberapa jam sebelumnya. Kalau pesanan tidak diambil, burger dan hot dog itu akan diberikan ke pembeli lain.
Penulis melihat bahwa antrian yang panjang baik di gerai J.CO ataupun di kios Blenger Burger memberikan dampak psikologis bagi calon konsumen ataupun konsumen produk-produk tersebut. Bagi calon konsumen, antrian panjang di depan suatu gerai atau kios makanan akan menimbulkan rasa penasaran bagi mereka yang melihatnya. Walaupun mereka awalnya menganggap konyol orang-orang yang rela mengantri lama untuk mendapatkan sebuah donat dan burger, di dalam benak mereka telah terbersit rasa penasaran yang sangat besar. Ditambah dengan asumsi bahwa jika suatu gerai atau kios makanan ramai dikunjungi orang, pastilah makanan yang dijualnya enak.
Bagi para konsumen J.CO ataupun Blenger Burger, antrian panjang merupakan tantangan yang harus dihadapi. Saat tantangan tersebut dapat diatasi, kepuasan yang sangat besar akan kmereka dapatkan. Hal inilah yang terjadi pada para konsumen J.CO ataupun Blenger Burger, mereka seperti ditantang untuk berlama-lama mengantri demi mendapatkan sebuah produk donat ataupun burger. Sangat mereka sudah mendapatkan produk tersebut di tangan, meraka akan merasa bahwa produk yang merka dapat adalah produk yang sangat enak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya effort yang telah mereka keluarkan untuk memperoleh produk tersebut.
Seperti pengalaman yang dituturkan oleh Merta (20), seorang mahasiswi yang mengatri 5 jam untuk menmbeli burger di kios Blenger Burger.
“Niat awalnya beli burger untuk makan siang, namun karena antriannya panjang burgernya jadinya buat makan sore. Emang sih, rasanya cape banget ngantrinya. Tapi pas akhirnya burgernya datang, rasanya tuh burger enak banget. Mungkin juga sih karena perut juga laper banget, hehehe. Tapi yang pasti lain kali mau beli burger di sini lagi, apalagi kalau ga usah pake ngantri.”
Pengalaman tersebut sekali lagi mengindikasikan bahwa para konsumen mendapatkan pengalaman baru yang membuat mereka justru ingin mencoba untuk yang kedua kalinya—atau mungkin lebih saat mereka harus mengantri untuk mendapatkan makanan yang mereka inginkan.
Selain itu ada hal lain yang masih terkait dalam gagasan homogenitas budaya populer, yaitu gagasan bahwa dalam kondisi posmoderm—saat semua hal bercampur menjadi satu—para pengguna produk budaya akan menjadi lebih sulit memilih antara ekonomi dan budaya populer. Bidang konsumsi—apa yang kita beli dan apa yang menentukan apa yang kita beli—semakin dipengaruhi oleh budaya populer. Konsumsi semakin terikat dengan budaya populer karena budaya populer semakin menentukan konsumsi. (Strinati, 2003, hlm.257)
Hal ini juga terjadi dalam produk-produk J.CO dan juga Blenger Burger. Selain lokasi yang strategis, produsen J.CO dan Blenger Burger dengan tanggap mengikuti pola konsumsi anak muda yang sangat terpengaruh globalisasi. Walaupun orang Indonesia umumnya mengkonsumsi nasi sebagai pemenuhan kebutuhan karbohidrat, anak-anak muda terlihat mulai menjauhi makan nasi. Sebagai gantinya mereka makan roti dan keju yang lebih dikenal sebagai makanan yang dikonsumsi secara global. Tren makan roti dan keju penulis kira masih akan berlanjut di masa-masa mendatang dengan kenyataan bahwa orang Indonesia—khususnya anak muda masih terus mengadopsi pola-pola konsumsi yang berasal dari budaya barat. Hal ini tanpa diragukan lagi membuat produk J.CO dan Blenger Burger menjadi sangat sesuai dengan representasi makanan yang anak muda sukai—yaitu roti dan keju.
Selain dalam pemilihan lokasi gerai, dan mengikuti tren pola konsumsi yang disukai anak muda, produsen J.CO dan Blenger Burger juga membuat konsumennya tertarik membeli produknya dengan membuat penamaan produk yang catchy. Misalnya produk-produk J.CO yang mempunyai nama-nama seperti Al Capone yang dilapisi coklat putih pada bagian atasnya beserta irisan almond nuts yang crunchy, Cheese Me Up dengan lapisan keju meleleh di bagian atasnya yang memiliki rasa asin yang memikat, atau Coco Loco dengan lapisan cokelat terbaik. Walaupun nama-nama produk Blenger Burger tidak seunik nama-ama produk J.CO tetapi penulis juga melihat adanya inovesi dalam nama produk Blenger Burger. Misalnya Grilled Burger, ataupun Cheesy Dog yang menggunakan beef frank yang beraroma asap. Umumnya masih jarang jenis burger yang dagingnya dipanggang, selain itu masih jarang juga hot dog yang menggunakan daging asap. Hal-hal inilah yang membuat produk-produk Blenger Burger juga terkesan catchy untuk konsumennya.
Penamaan produk yang catchy juga penulis anggap sebagai salah satu strategi yang ampuh menarik konsumen karena dapat memberikan asosiasi tertentu pada konsumennya. Seperti misalnya produk J.CO yang bernama Alcapone. Walaupun seseorang belum pernah menyicipi donat Alcapone, orang tersebut telah memiliki asosiasi tentang nama Alcapone di dalam pikirannya—yaitu nama mafia dalam film The Godfather. Mungkin memang tidak ada hubungan sama sekali antara donat Alcapone dan film The Godfather, namun hal ini tidak akan menjadi masalah karena secara idak langsung orang tersebut telah merasa familiar dengan nama tersebut hingga keinginan untuk mencoba donat tersebut semakin besar—dan yang pasti orang tersebut telah merasa ‘dekat’ dengan nama tersebut.
Hal lain yang juga menjadi strategi jitu pemasaran produk-produk J.CO dan Blenger Burger adalah budaya interpersonal yang diterapkan produsen produk-produk tersebut antara konsumen dan para karyawannya. Seperti kata Jonny Andrean—pemilik J.CO, “Tentu saja untuk mencapai misi seperti itu, pihaknya mesti rela mengeluarkan investasi yang cukup besar khususnya untuk meningkatkan kreativitas karyawan.” Lalu Johnny juga mengatakan, “Dasarnya saya ini seniman jadi belum merasa aman jika karyawan kami belum betul-betul menguasai semua pekerjaanya.” Hal itu juga yang membuat perusahaan yang dikelola Johnny Andrean ini terus menerus menerapkan training berjenjang sebagai upaya perbaikan karyawan di seluruh divisi.
Budaya interpersonal ini juga diaplikasikan dalam bentuk gerai yang berbeda dengan produk-produk yang telah beredar di pasaran. Untuk produk J.CO, Johnny Andrean menyulap gerai mal menjadi sebuah kafe. Mirip dengan yang dilakukan produsen J.CO, untuk menarik minat pembeli, Burger Blenger didesain dengan konsep dapur terbuka. Konsep ini menyuguhkan pemandangan memasak kepada pengunjungnya. Jadi siapa saja yang sedang memesan, bisa langsung melihat cara membuat burger dan hot dog. Penulis melihat para produsen produk-produk budaya tersebut menggunakan budaya interpersonal sebagai salah satu cara membangun hubungan antara konsumen dan karyawan yang bertujuan untuk membuat para konsumen merasa nyaman dan betah mengunjungi gerai mereka sehingga mereka akan terus menjadi konsumen produk-produk mereka.
Melihat strategi pemasaran yang dilakukan produsen J.CO dan Blenger Burger seperti target pasar yang jelas—anak muda yang konsumtif, pemilihan lokasi yang strategis—tempat banyak anak muda nongkrong, dan tanggap dengan pola konsumsi anak muda—yang mulai meninggalkan nasi dan lebih memilih roti, membuat produk J.CO dan Blenger Burger menjadi produk yang sangat populer yang disukai banyak orang—hingga menimbulkan antrian konsumen yang sangat panjang. Selain itu penamaan produk yang catchy dan pengembangan budaya interpersonal yang dilakukan produsen J.CO dan Blenger Burger juga menjadi nilai lebih yang dimiliki produk-produk tersebut yang membuat produk-produk tersebut sukses di pasaran.
Dalam hal ini, penulis melihat pola-pola strategi pemasaran yang dilakukan produsen J.CO dan Blenger Burger adalah pola yang diadopsi dari budaya barat. Hal ini terlihat dari pemilihan produk mereka yang berupa donat dan burger yang bukan merupakan produk asli buatan Indonesia. Selain itu, ditilik dari sejarah berdirinya, J.CO didirikan oleh Johnny Andrean setelah ia sukses dengan fanchise bernama Bread Talk. Ia mengadopsi tekik-teknik pemasaran Bread Talk yang berhasil menjaring konsumen besar dalam produk barunya yang bertajuk J.CO. Secara nyata, hal ini berhasil, saat ini J.CO juga memiliki konsumen besar hingga semakin banyak pula gerai-gerai J.CO yang dibuka—baik di Jakarta ataupun kota-kota lain di luar Jakarta.Dalam kasus Blenger Burger, Erik kadarman Subarna mengadopsi burger yang merupakan makanan yang berasal dari barat dengan pemanfaatan bumbu-bumbu asli Indonesia. Kiosnya yang merupakan kios di pinggir jalan juga mengadopsi kios-kios penjual burger dan hot dog di luar negeri yang berlokasi di tempat-tempat umum seperti taman ataupun jalan raya.
Namun, keberhasilan produsen produk J.CO dan Blenger Burger dengan mengadopsi pola-pola pemasaran dari luar negeri dengan produk yang berasal dari dalam negeri dapat dianalogikan seperti pendapat Thompson, bahwa dengan memanfaatkan pengalaman-pengalaman tentang budaya luar yang berpengaruh tehadap pengembangan budaya lokal, maka budaya baru yang didapatkan adalah budaya yang dinamis. Hal itulah yang penulis kira telah berhasil dikembangkan para produsen produk J.CO dan Blenger Burger tersebut. Di luar kenyataan bahwa ide yang mereka gunakan bukanlah ide yang benar-benar orisinil, ataupun konsumen besar yang mereka dapatkan saat ini hanyalah sementara, penulis lihat sebagai suatu keberhasilan pengusaha lokal yang membanggakan. Dengan menggunakan packaging global terhadap budaya lokal seperti yang dilakukan prodesen J.CO dan Blenger Burger, penulis menyimpulkannya sebagai salah satu cara produsen lokal untuk tetap bertahan di masa yang serba global ini.
****
Acuan Bacaan
Giles, Judy dan Tim Middleton. Studying Culture: A Practical Introduction. Oxford: Blackwell Publishers Inc. 1999.
Strinati, Dominic. Popular Culture: PengantarMenuju teori Budaya Populer. (diterjemahkan oleh Abdul Mukhid dari An Introduction Theories of Popular Culture.) Yogyakarta: Bentang Budaya. 2003
Thompson, K. Media and Cultural regulation. Open University Milton Keynes. 1997
Sumber Lain
http://berita.karebosi.com/504_3527/jco_donut_ramaikan_bisnis_roti_di_makassar.html yang diakses pada tanggal 29 Mei 2006
http://cyberjob.cbn.net.id/detent.asp?id=155 yang diakses pada tanggal 29 Mei 2006
http://www.kompas.co.id/jalanjalan/news/0604/08/104547.htm yang diakses pada tanggal 29 Mei 2006
http://www.sinar harapan.co.id/feature/café_resto/2003/0822/caf.1html yang diakses pada tanggal 29 Mei 2006
http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=10720&no=2 yang diakses pada tanggal 29 Mei 2006
***
PS: sumpah ini tulisan ngejelimet banget bacanya.. tapi saya tetap bahagiakarena menemukan "hasil karya" saya, sekaligus bernostalgia.. :D