Friday, January 27, 2012

Home is where the heart is..

Saat di googling, keluarlah hasil teratas dari "free dictionary" tentang idiom/frase itu. Hasil kedua, judul lagunya Lady Antebellum, dan Elvis Presley. Sedangkan hasil ketiganya adalah sebuah blog berjudul kalimat itu.

yup, tulisan kali ini adalah soal rumah. Atau tepatnya punya/belum punya rumah sendiri. Sampai saat ini saya&muai memang belum punya rumah sih. Kami masih tinggi di joglo, rumah orang tua saya sejak tahunn 1980.
Kami punya alasan kenapa masih tinggal di sana:
1. Ayah saya sudah meninggal, jadi ibu saya hanya tinggal dengan kakak saya&anaknya, plus sama saya&muai.
2. Saya&muai punya tanggung jawab untuk membiayai keperluan rumah tangga di sana. Jika saya pergi, lalu siapa yang akan bertanggung jawab?
3. Saat saya sudah mulai meniti karier menjadi editor, saya merasa beruntung rumah saya lokasinya tidak jauh dari kantor. Jika saya diantar naik motor/ojek, hanya 15 menit dari rumah. Jika naik angkot (saat bukan jam sibuk), selain cuma sekali, waktu tempuhnya hanya kira2 45 menit (itu sudah termasuk jalan +/-1 km).
4. jika pun punya rumah (meski belum tahu kapan), saya ingin punya rumah yang tidak jauh dari mamah. Alasannya, meski jauh dari pusat kota, lokasi rumah saya masih di jakarta, bukan tangerang, tangsel, bekasi, bogor, dsb.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, saat ini saya&muai punya keinginan. Kami ingin membangun kamar&ruangan privat untuk kami. Sebuah kamar yang sesuai dengan keinginan kami. Kami ingin mengembangkan rumah mamah menjadi satu hunian yang modern, dan masih akan berumur lebih panjang lagi. Sehingga nanti bisa dihuni oleh keluarga kami, dan juga keluarga kakak saya kelak.

Tapi, persoalan belum memiliki rumah kadang membuat kuping panas kalau konteksnya kaya di percakapan ini.
Mr X: "Lo masih tinggal di MI?
saya: "MI apa?"
Mr X: "Mertua Indah."
Saya: "Gw tinggal di rumah nyokap kali, bukan di rumah mertua.
Mr X: "Ya sama aja lah itu."

atau

Mrs Y: "Lo belum beli rumah?"
Saya: "Belum. Aku sama suamiku mau bangun kamar dulu."
Mrs Y: "Bangun kamar di rumah nyokap lo? Ngapain bangun kamar di rumah orang, mending beli rumah sendiri."

*Crap. I hate u people.*
Sebel deh jadinya. Kenapa sih mereka harus berkata seperti itu?
Seperti menempatkan saya di kelas yang lebih hina karena belum tinggal pisah dari orang tua?
Mereka juga membuat saya berpikir bahwa membangun kamar adalah tindakan yang sia-sia?
Ah kenapa sih? :((


***

Saya sempet curhat sih sama muai. Sempet nanya ke dia apa dia ga pernah kepikiran untuk punya rumah sendiri? Berjuang membayar cicilannya. Membangun keluarga di dalamnya. Ataupun menjadikannya rumah 'muaipani' yang akan kami banggakan setiap waktu.
Jawaban muai sih simple aja. Dengan segala kemauan saya dari nomor 1-4 membuat dia untuk saat ini tidak ngongso membeli rumah&membebani kami berdua dengan cicilan yang mencekik leher. *karena kalau mau nyari rumah yang bisa dicicil lokasinya jauhnya minta ampun dari tempat tinggal kami sekarang*
Muai bilang sama saya, "Yang aku mau sekarang adalah membangun (rumah) sayang. Entah itu rumah di lahan kosong baru, atau rumah yang sudah ada sekarang. Jika pun kita membeli rumah, itu untuk investasi. Jika pun bukan untuk investasi tapi untuk pensiun kita, rasanya aku mau punya rumah di desa."

Pendapatnya muai cukup bijak untuk saya yang labil&sensi gara2 (merasa) dihina sama orang2 karena belum punya rumah.. :(

Trus muai juga menyarankan saya mencari ide proyek pembangunan kamar kami di houzz.com. Sumpah tu website keren banget. Jadi saya pasang juga deh profile ideabook saya di blog ini.. Siapa tahu bisa jadi jadi ide buat orang lain juga.. :D

Sampai di sini dulu posting kali ini.. Yang jelas, saya bersyukur kepada Allah yang telah memberikan saya suami yang terbaik..
I love u Muai.. :D

No comments: